Hasrul Hasan

Reka Cipta Dalam Perspektif Kreativiti

728x90
2007

Mendengar nama Karampuang bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan bukanlah hal aneh. Nama Karampuang ditemukan dihampir seluruh daerah termasuk di Kota Makassar. Namun Karampuang yang memiliki rumah adat serta peninggalan Arkeologi yang beraneka macam hanya di Karampuang yang terdapat di Kabupaten Sinjai. Keunikan budaya Karampuang yang cenderung matrealistik diawali pada sebuah peristiwa besar yang terjadi di Karampuang yang merupakan peristiwa yang mengawali rentetan peristiwa berikutnya. Peristiwa besar serta simbol yang terkandung pada keunikan budayanya semuanya tertulis pada Lontarak Karampuang yang disakralkan pendukungnya. Dikisahkan dalam Lontarak Karampuang bahwa pada jaman dahulu kala tatkala bumi ini masih dikelilingi oleh air, Karampuang dan sekitarnya tidak digenangi oleh air yang disebut dengan Cimbo.
Makna kata "Cimbo" ini ialah wilayah bagaikan tempurung yang menyembul seperti tempurung kelapa di tengah genangan air. Di tengah cimbo inilah yang kelak ditemukan seorang yang tak dikenal yang akhirnya diberi gelar "Manurunge Ri Karampulue" yang artinya seorang yang karena hadirnya membuat seluruh warga merinding atau berdiri bulu romanya.
Penamaan Karampulue kemudian berubah nama dan lebih dikenal dengan Karampuang. Setelah Manurunge ri Karampulue lama menetap dan memimpin warganya tiba-tiba ia berpesan "eloka tuo tea, mate eloka madeceng tea maja''. Kata-kata ini adalah wasiat agar senantiasa memelihara segala tradisi yang diwariskan kepada mereka. Wasiat ini juga untuk kemaslhatan warga Karampuang. Setelah berpesan maka dia tertidur dan lama kelaman menghilang dan tiba-tiba muncul lagi tujuh orang "To manurung baru yang disebut Manurung Pitue". Mereka ini dikirim untuk menjadi raja baru pada cimbo-cimbo baru setelah air surut sebanyak tujuh kali. Adapun tempat yang dituju adalah Ellung Mangere, Bonglangi, Bontona Barue, Carimba, Lante, Amuru, Tessese. Sementara yang tinggal di Karampuang adalah seorang wanita yang diyakini merupakan jelmaan dari Manurunge ri Karampulue tadi.
Ini menandakan rumah adat Karampuang dilambangkan dengan wanita sedangkan saudaranya yang lain adalah laki-laki sehingga diungkapkan sebagai "Lao cimbonna, monro capengna". Pada saat keenam saudaranya hendak pergi menempati wilayah baru sekaligus menjadi raja, saudara wanitanya berpesan: Nonnono makaake lembang Numalappo kualinnrungi Numatanre kuaccinaun Mukkelo kuakkelori Ualai lisu, yang bermaksud bahwa silahkan pergi menjadi raja ditempat lain, namun kebesaran kerajaanmu kelak harus mampu melindungi Karampuang. Raihlah kehormatan itu akan turut menaungi kehormatan leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu haruslah atas kehendakku jua, apabila segala kebesaran dan kehormatan itu tidak aku ambil kembali. Setelah keenam saudaranya itu menjadi raja maka mereka membentuk masing-masing dua gella baru sehingga terciptalah 12 gella selain karampuang sebagai induk yakni Bulu, Bicu, Sulewatang, Salohe, Satengnga, Pangepenna Satengnga yang hingga saat ini menjadi pendukung utama budaya karampuang.

Aku rindukan manusia yang berjiwa mulia!
Aku rindukan manusia yang berjiwa pembela kebajikan manusia dan kesejahteraan masyarakat tanpa mengutamakan keuntungan diri mereka sendiri!

Aku rindukan manusia yang berhati dan berjiwa luhur!
Aku ingin bersahabat dengan mereka semua demi untuk berusaha bersama dengan mereka kearah kebaikkan, keselamatan, kesejahteraan hidup
untuk manusia di dunia ini..

Sebab itulah aku mengkritik!
Sebab itulah aku menulis!

Melawan arus perubahan Menahan tiupan angin
Melawan derasnya sungai Menahan hantaman gelombang
Menuai mimpi-mimpi yang tertunda
Merealisasi janji-janji kehidupan
Sedikit pergerakan merubah seluruh pergolakan
Sekedar menyatakan jiwa revolusioner


Segala daya upaya dikerahkan agar penindasan dihentikan
Seluruh jiwa, pikiran dan hati diserahkan agar mereka sadar..


Tidak, dia bukan pengecut,

bagi-ku dia malah sangat berani,

berani mengambil keputusan yang mungkin

adalah salah satu keputusan terberat dalam hidup-nya,

di-mana di satu sisi, dia sangat mencintai rekan rekannya di tempat-nya mengabdi selama ini, memberikan mereka setitik kebahagiaan, dan di satu sisi lagi dia menjadi korban ke-munafik-an manusia-manusia yang tidak ber-tanggung jawab.


Dia pernah bilang:

“Aku masih punya harga diri, dan aku memilih untuk keluar dari sini sebelum di-usir oleh mereka. Ya, kalau memang mereka punya otak dan punya moral, tapi alangkah sakit-nya ketika mereka ternyata hanya beda tipis dengan binatang, yang tidak punya hati, bukan untuk-ku, tapi untuk mereka,teman teman kita yang masih butuh perhatian”

Malam ini awal musim penghujan non. kotaku terguyur tetes-tetes air dari langit itu, indah sekali. Kebun-kebun itu mulai tampak hidup, bunganya mulai bermekaran indah. Begitu juga dengan kamboja di sudut jendala ini, mulai mekar dan berkisah tentang harinya.

Halaman-halaman rumput itu begitu segar dan mempunyai essense sendiri dari basahnya, entahlah non tapi lebih wangi dari parfum manapun yang kukenal, parfummu bahkan. Walau aku kini mulai lupa wangi parfum itu, senyummu bahkan aku mulai lupa.
Sebenarnya ingin sekali mengingatnya, membauinya walau engkau sejauh pulu….han kali rasi bimasakti. Buku di tanganku ini belum lagi habis kubaca, saat tetes terakhir kopi hangat meresap dilidahku, yang kerap kelu saat berbicara denganmu.
Malam ini aku menikmati seperti biasanya di sofa rumah ini. Hanya beberapa langkah dari tempatmu menjemput senja, pulang dengan langkah lunglai atau tawa renyah karena sudah habis waktumu hari ini berkutat dengan segala angka.
Kadang di musim-musim seperti ini aku berharap kembali lagi melihat pelangi, pelangi dalam artian sesungguhnya.
Benda setengah lingkaran yang warnanya seindah kosong matamu. Namun pelangi itu tak jua tiba, bahkan hanya untuk mengkonfirmasi kedatangannya lewat sms atau sambungan jarak jauh. Kurasa engkau juga telah memakan pelangi itu, seperti engkau makan bulanku. tapi tak apa, aku lebih suka kau memakannya. Bagaimana kabarmu disana ? bagaimana dirimu sekarang ?

Sekian ratus tahun sudah, ia tak pernah sanggup melahirkan benci pada hujan.
selain selimut tebal dan sepenggal sejarah malam lewat dalam dekapan para pemabuk gerimis di matanya seolah menggigil.


Tak kunjung lelah untuk melupakan sayup-sayup suara azan tetapi Tuhan.
ah, dadanya penuh dengan goresan takdir
Kelam, telah bosan ia menjumlah waktu karena panjang atau melingkar tetap irama rahasia detak-detak tentang maut. Seperti tetes-tetes di mulut jendela mengetuk dan berkabar bahwa perjalanan bukanlah sekadar tarian dan ia. mencoba mencintai langit!!!

Westerling
Menjelang peringatan tragedi pembantaian 40.000 jiwa rakyat Sulsel, yang jatuh tanggal 11 Desember, saya warga jalan korban 40.000 jiwa ini mencoba mengulas mengenai sosok kapten Raymond Westerling dari data yang aku peroleh dari internet dan beberapa buku. Masa kecil Westerling tak banyak terungkap, sebagian besar rapat tertutup. Dalam stambuk tentara KNIL, namanya hanya tertera sebagai Kapten Westerling. Ia lahir di Istanbul, Turki, pada hari Minggu, 31 Agustus 1919. Orangtuanya adalah pasangan pedagang karpet. Ayahnya seorang Belanda, ibunya keturunan Yunani. Ketika berusia 5 tahun, kedua orang tuanya meninggalkan Westerling. Anak tak bahagia itu lalu hidup di panti asuhan. Tempat itulah mungkin yang membentuk dirinya menjadi orang yang tidak bergantung dan terikat pada siapa pun.

Westerling yang sudah tertarik pada buku-buku perang sejak masih belia menemukan kesempatan untuk jadi tentara ketika Perang Dunia pecah. Desember 1940, ia datang ke Konsulat Belanda di Istanbul. Westerling menawarkan diri menjadi sukarelawan. Ia diterima. Tapi untuk itu, sebelumnya ia harus bergabung dengan pasukan Australia. Bersama kesatuannya, Westerling ikut angkat senjata di Mesir dan Palestina. Dua bulan kemudian ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sini kesewenang-wenangannya mulai muncul. Ia menyelinap menuju Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Di situlah ia belajar berbahasa Belanda.
Westerling lalu dikirim ke Inggris. Ia bergabung dalam Brigade Putri Irene. Di Skotlandia, ia memeroleh baret hijaunya. Ia juga mendapat didikan sebagai pasukan komando. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun mendapat baret merah dari SAS (The Special Air Service), pasukan khusus Inggris yang terkenal. Dan yang membanggakannya, ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, dan menjadi instruktur pasukan Belanda—untuk latihan bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Tapi ia pun pernah dipekerjakan di dapur sebagai pengupas kentang.

Ternyata, hidup di barak bagi seorang Westerling menjemukan. Ia ingin mencium bau mesiu dan ramai pertempuran sebenarnya, bukan cuma latihan. Cita-citanya kesampaian pada 1944, Inggris menerjunkannya ke Belgia. Dari situ ia bergerak ke Belanda Selatan. Menurut buku De Zuid-Celebes Affairs, di Belgia itulah ia kali pertama merasakan perang sesungguhnya. Tapi, menurut Westerling sendiri, dalam Westerling, 'De Eenling' (Westerling, Si Penyendiri), perkenalan pertamanya dengan perang terjadi di hutan-hutan Burma.

Berkilau agaknya prestasi militer Westerling. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elit Inggris, dan masuk menjadi anggota KNIL. Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-Inggris di Kolombo. Pada September 1945, bersama beberapa pasukan, Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara. Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Ia berhasil.

Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase, demikian kata buku Westerling, De Eenling. Itu makanya di Medan ia mengkoordinir orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Pertengahan tahun 1946, ia dikirim ke Jakarta.

Di KNIL, karier militer Westerling menanjak cepat. Mulanya, ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu Westerling diangkat sebagai Komandan Depot Speciale Troepen (DST), Pasukan Para Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia tiba di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang menggemparkan. Kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa, sebelum dihabisi dengan biji-biji peluru.

Empat bulan teror, perlawanan penduduk mereda. Anehnya, rakyat mengelu-elukan Westerling, mungkin karena takut. Ketika beranjak dari Makassar, kembali ke Jawa, konon, seseorang memberikan kenang-kenangan sebilah badik.

Westerling Pembantai Dramatis Kemanusiaan
Tanggal 11 Desember 1946 adalah hari berkabung di Sulawesi Selatan. Pada hari itu Raymond Pierre Westerling dari tentara KNIL dikenal dengan julukan ? De Turk? (orang Turki) mulai melaksanakan aksi pembersihan terhadap orang-orang Indonesia yang pro kemerdekaan. Tiga bulan lamanya aksi militer berlangsung dan kurang lebih 40 ribu orang tak berdosa mati terbunuh (Ensiklopedi Umum 1973). Keganasan Westerling dicatat dari Dinas Kemiliteran Belanda pertengahan tahun 1948. Ia terkenal dengan aksi?aksinya membantai manusia yang pro kemerdekaan sebagai anti kemerdekaan Indonesia dia mempersiapkan terbentuknya Tentara Partikelir yang dinamakannya Angkatan Darat Ratu Adil (APRA) Republik Indonesia Serikat. Konsep tersebut dibuat pada hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang ketika itu belum berusia dua minggu. Westerling mengirimkan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan. Dia menuntut agar kekuasaan militer di Pasundan diserahkan kepada APRA dan agar mengakui APRA sebagai pasukan resmi.

Tanggal 23 Januari 1950 Westerling dan pasukannya menduduki Cimahi di mana terdapat pasukan Belanda dan KNIL dan 300 orang disortir menggabungkan diri kepada APRA. Mereka menyerbu kota Bandung dengan kekuatan 800 orang bersenjata lengkap. APRA berusaha merebut Markas besar tentara Siliwangi di Oude Hospitalweg. Dalam tembak menembak waktu itu sejumlah 79 orang yang meninggal antara lain Letkol Lembong, Mayor Ir Djokosutikno, Mayor Sachirin , Kapten Dudung (Ensiklopedi Indonesia 1980). Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta Dr Hirschfeld yang menghukum tindakan Westerling dengan memerintahkan kepada Jenderal Engles di Bandung agar menindas Westerling yang dianggapnya sebagai kudeta berdarah. Sikap tegas Engels membuat terbirit-birit mencari cantolan politiknya untuk meloloskan diri dari kejaran tentara Indonesia. Dalam cantolan politiknya itu dianggap mempunyai hubungan kuat dengan wali negara Pasundan dan Sultan Hamid dari Pontianak. Itulah sebabnya keduanya ditahan oleh Pemerintah RIS karena dituduh bersekongkol dengan Westerling, apalagi jauh sebelum membantai di Jawa Barat telah membuat korban yang dramatis di Sulawesi Selatan, Korban 40 Ribu Jiwa rakyat di Sulawesi Selatan.


Korban 40 Ribu Jiwa
Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan yang diperingati setiap 11 Desember merupakan noda hitam dalam sejarah kemanusiaan Sulawesi Selatan. Bila kita memutar arah jarum jam sejarah atau membangun kembali ?historical mainstream? dengan membandingkan penegakan hak asasi manusia yang semakin deras setelah reformasi, maka kita akan sedih, menangis dan menjerit dan berkata ?bahwa Korban 40 Ribu jiwa adalah tragedi berdarah kemanusiaan di abad ke-20?. Lalu apa kaitannya dengan mengungkapkan peristiwa 59 tahun yang silam dengan pelanggaran hak asai manusia.

Jika ditilik pertemuan antara pihak Indonesia dan Belanda pada tanggal 9 Februari 1950, maka jelas peristiwa korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.





Bagi suku Toraja, Rambu Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.Suatu hari di dataran tinggi Tanah Toraja. Saat itu, malam kian kelam ketika rembulan memancarkan pantulan cahayanya. Di sekeliling halaman Tongkonan atau rumah adat Tana Toraja terlihat sanak saudara dan para keluarga mendiang Lai Sumule berkumpul menandai dimulainya pembukaan ritual pemakaman adat Toraja. Suasana pun menjadi sakral ketika mereka bersama-sama melantunkan syair kesedihan dalam tarian Mabadong. Tarian ini menyimbolkan ratapan kesedihan mengingat jasa mendiang semasa hidupnya serta sebagai ungkapan dukacita bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Adapun, orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.Kini, zaman telah berubah, seiring munculnya agama-agama Samawi yang mengubah keyakinan agama orang Toraja. Kendati begitu, tradisi dan budaya leluhur mereka masih dipegang erat. Tradisi leluhur inilah yang kemudian menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja akan tanah kelahiran nenek moyang mereka.Saat prosesi pemakaman adat Toraja yang dinamakan upacara Rambu Solo`, misalnya. Boleh dibilang, Rambu Solo` adalah ritual yang sangat panjang dan melelahkan. Sebab kematian bukanlah akhir dari segala risalah hidup. Maka, suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam puya atau alam baka.Biasanya pesta kematian berjalan hingga berhari-hari. Tak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan pihak keluarga untuk membiayai jalannya prosesi Rambu Solo`. Selama itu, jenazah disemayamkan dalam peti rumah duka.Walau secara medis seseorang telah dianggap meninggal dunia, berdasarkan adat istiadat Toraja, orang yang mati dianggap sedang tidur selama keluarga belum menjalankan upacara Rambu Solo`. Contohnya mendiang Ne Ne Lai Sumule. Dia meninggal sejak enam bulan silam. Namun secara adat ia masih diperlakukan layaknya orang yang menderita sakit.Malam semakin larut. Ritual demi ritual pun telah dijalankan. Sekarang saatnya pihak keluarga melangsungkan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah. Seiring dimulainya Ma`tundan, suasana duka kembali tergurat di wajah sanak saudara dan orang-orang terdekat dari mendiang. Air mata pun jatuh bercucuran sebagai wujud orang yang mereka cintai baal pergi selamanya.Dan, hari itu, status sosial kebangsawanan itu terlihat pada bagian upacara Rambu Solo` atas kematian Ne Ne Lai Sumule. Padi yang tersimpan dalam lumbung tengah dipersiapkan untuk ditumbuk. Ritual tumbuk padi biasa dilakukan kaum wanita yang sudah tua yang memiliki kemahiran memainkan lesung dan bambu.Bunyi-bunyian lesung dan bambu tersebut dilakukan bersamaan dengan prosesi pemindahan jasad Ne Ne Lai Sumule dari rumah duka untuk disinggahkan ke rumah adat Tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam.Maka, sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad Ne Ne Lai itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.Maka tarian penghormatan pun dilakukan. Kain merah dibentangkan sebagai lambang kebesaran suku Toraja. Sanak saudara dan warga bahu-membahu mengantarkan peti jenazah ke bawah lumbung.Ketika peti mati diturunkan, sorak-sorai bergema di antara penduduk. Warga mencoba mengatasi beban berat yang bertumpu di atas pundak mereka. Kain merah atau lamba-lamba ini dibentangkan sebagai simbol jalan yang harus dilalui jenazah.Akhirnya, sampailah peti jenazah di lumbung yang letaknya tepat di bawah rumah adat. Dalam keyakinan masyarakat Toraja, peletakan jasad ke dalam lumbung selama tiga malam itu menandakan jasad mendiang telah menuju pada fase kematian yang sebenarnya.

seorang sahabatku menulis:

"aku memilihmu"

ketika kamu memilih jalan

untuk tidak memilih ku aku mengingatmu ketika kamu mengingatkanmu untuk tidak mengingatku dalam keramaian aku mengenangmu ketika

dalam sepi kamu lelap dan menghanguskanku aku menunggumu

ketika kamu menunggu aku untuk tidak menunggumu"

sementara aku di sini menulis:"

aku memilih sebuah jalan untuk menghindari kamudan kamu memilih melewati jalan itu untuk menghindari aku..

"bagaimana caranya membuat hati mati rasa?


Lihatlah hari ini

sebab ia adalah kehidupan dari kehidupan

dalam sekejap dia telah melahirkan berbagai hakikat dari wujudmu.

Karena, hari kemarin tak lebih dari sebuah mimpi

dan esok hari adalah bayangan

Namun hari ini ketika anda hidup sempurna,

telah membuat hari kemarin sebagai impian yang indah.

Setiap hari esok adalah bayangan yang penuh harapan.

maka lihatlah hari ini, inilah salam

untuk SANG FAJAR.......

Hasrul

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget