Mengenal masyarakat karampuang
Mendengar nama Karampuang bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan bukanlah hal aneh. Nama Karampuang ditemukan dihampir seluruh daerah termasuk di Kota Makassar. Namun Karampuang yang memiliki rumah adat serta peninggalan Arkeologi yang beraneka macam hanya di Karampuang yang terdapat di Kabupaten Sinjai. Keunikan budaya Karampuang yang cenderung matrealistik diawali pada sebuah peristiwa besar yang terjadi di Karampuang yang merupakan peristiwa yang mengawali rentetan peristiwa berikutnya. Peristiwa besar serta simbol yang terkandung pada keunikan budayanya semuanya tertulis pada Lontarak Karampuang yang disakralkan pendukungnya. Dikisahkan dalam Lontarak Karampuang bahwa pada jaman dahulu kala tatkala bumi ini masih dikelilingi oleh air, Karampuang dan sekitarnya tidak digenangi oleh air yang disebut dengan Cimbo.
Makna kata "Cimbo" ini ialah wilayah bagaikan tempurung yang menyembul seperti tempurung kelapa di tengah genangan air. Di tengah cimbo inilah yang kelak ditemukan seorang yang tak dikenal yang akhirnya diberi gelar "Manurunge Ri Karampulue" yang artinya seorang yang karena hadirnya membuat seluruh warga merinding atau berdiri bulu romanya.
Penamaan Karampulue kemudian berubah nama dan lebih dikenal dengan Karampuang. Setelah Manurunge ri Karampulue lama menetap dan memimpin warganya tiba-tiba ia berpesan "eloka tuo tea, mate eloka madeceng tea maja''. Kata-kata ini adalah wasiat agar senantiasa memelihara segala tradisi yang diwariskan kepada mereka. Wasiat ini juga untuk kemaslhatan warga Karampuang. Setelah berpesan maka dia tertidur dan lama kelaman menghilang dan tiba-tiba muncul lagi tujuh orang "To manurung baru yang disebut Manurung Pitue". Mereka ini dikirim untuk menjadi raja baru pada cimbo-cimbo baru setelah air surut sebanyak tujuh kali. Adapun tempat yang dituju adalah Ellung Mangere, Bonglangi, Bontona Barue, Carimba, Lante, Amuru, Tessese. Sementara yang tinggal di Karampuang adalah seorang wanita yang diyakini merupakan jelmaan dari Manurunge ri Karampulue tadi.
Ini menandakan rumah adat Karampuang dilambangkan dengan wanita sedangkan saudaranya yang lain adalah laki-laki sehingga diungkapkan sebagai "Lao cimbonna, monro capengna". Pada saat keenam saudaranya hendak pergi menempati wilayah baru sekaligus menjadi raja, saudara wanitanya berpesan: Nonnono makaake lembang Numalappo kualinnrungi Numatanre kuaccinaun Mukkelo kuakkelori Ualai lisu, yang bermaksud bahwa silahkan pergi menjadi raja ditempat lain, namun kebesaran kerajaanmu kelak harus mampu melindungi Karampuang. Raihlah kehormatan itu akan turut menaungi kehormatan leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu haruslah atas kehendakku jua, apabila segala kebesaran dan kehormatan itu tidak aku ambil kembali. Setelah keenam saudaranya itu menjadi raja maka mereka membentuk masing-masing dua gella baru sehingga terciptalah 12 gella selain karampuang sebagai induk yakni Bulu, Bicu, Sulewatang, Salohe, Satengnga, Pangepenna Satengnga yang hingga saat ini menjadi pendukung utama budaya karampuang.
Makna kata "Cimbo" ini ialah wilayah bagaikan tempurung yang menyembul seperti tempurung kelapa di tengah genangan air. Di tengah cimbo inilah yang kelak ditemukan seorang yang tak dikenal yang akhirnya diberi gelar "Manurunge Ri Karampulue" yang artinya seorang yang karena hadirnya membuat seluruh warga merinding atau berdiri bulu romanya.
Penamaan Karampulue kemudian berubah nama dan lebih dikenal dengan Karampuang. Setelah Manurunge ri Karampulue lama menetap dan memimpin warganya tiba-tiba ia berpesan "eloka tuo tea, mate eloka madeceng tea maja''. Kata-kata ini adalah wasiat agar senantiasa memelihara segala tradisi yang diwariskan kepada mereka. Wasiat ini juga untuk kemaslhatan warga Karampuang. Setelah berpesan maka dia tertidur dan lama kelaman menghilang dan tiba-tiba muncul lagi tujuh orang "To manurung baru yang disebut Manurung Pitue". Mereka ini dikirim untuk menjadi raja baru pada cimbo-cimbo baru setelah air surut sebanyak tujuh kali. Adapun tempat yang dituju adalah Ellung Mangere, Bonglangi, Bontona Barue, Carimba, Lante, Amuru, Tessese. Sementara yang tinggal di Karampuang adalah seorang wanita yang diyakini merupakan jelmaan dari Manurunge ri Karampulue tadi.
Ini menandakan rumah adat Karampuang dilambangkan dengan wanita sedangkan saudaranya yang lain adalah laki-laki sehingga diungkapkan sebagai "Lao cimbonna, monro capengna". Pada saat keenam saudaranya hendak pergi menempati wilayah baru sekaligus menjadi raja, saudara wanitanya berpesan: Nonnono makaake lembang Numalappo kualinnrungi Numatanre kuaccinaun Mukkelo kuakkelori Ualai lisu, yang bermaksud bahwa silahkan pergi menjadi raja ditempat lain, namun kebesaran kerajaanmu kelak harus mampu melindungi Karampuang. Raihlah kehormatan itu akan turut menaungi kehormatan leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu haruslah atas kehendakku jua, apabila segala kebesaran dan kehormatan itu tidak aku ambil kembali. Setelah keenam saudaranya itu menjadi raja maka mereka membentuk masing-masing dua gella baru sehingga terciptalah 12 gella selain karampuang sebagai induk yakni Bulu, Bicu, Sulewatang, Salohe, Satengnga, Pangepenna Satengnga yang hingga saat ini menjadi pendukung utama budaya karampuang.