Hasrul Hasan

Reka Cipta Dalam Perspektif Kreativiti

728x90
2019


Oleh:

Muhammad Hasrul Hasan
Komisioner KPID Sulawesi Selatan

DELAPAN tahun lalu. Tepatnya Sabtu 16 Juli 2011, stasiun televisi lokal Celebes TV resmi mengudara di kanal 31 ultra high frequency (uhf).

Siarannya menjangkau Kota Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Gowa dan Takalar. Dengan memadukan para pekerja media senior yang berpengalaman dengan pekerja broadcast dan jurnalis muda para pendiri dan karyawan, Celebes TV mengklaim diri sebagai televisi berita lokal pertama di Indonesia.

Ini karena hampir 80 persen isi siarannya fokus pada berita dan talkshow.

Dengan tagline "terkini dari tradisi Sulawesi", Celebes TV menyuguhkan berbagai program berita, talkshow, dan program lain dengan konten lokal, yang dikemas menarik dan tentu saja, informatif.
Celebes TV lahir di tengah ‘gempuran’ Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) televisi Sistem Siaran ber-Jaringan (SSJ) di kota-kota yang menjadi sampel survei kepemirsaan yang dilakukan Nielsen, perusahaan penghitung rating televisi.

Kota Makassar masuk dalam 10 kota tersebut.

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjadi payung lahirnya stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh wilayah Indonesia, tercatat ada 17 lembaga penyiaran swasta televisi di Sulawesi Selatan yang memiliki izin penyelenggara penyiaran untuk wilayah layanan Makassar dan Takalar.

Lima diantaranya stasiun televisi lokal.
Saat sejumlah televisi lokal diakusisi lembaga penyiaran berjaringan, Celebes TV tampil percaya diri dengan konten 90 persen lokal.

Kemudian berhasil mendapat perhatian pemirsa di Makassar dan sekitarnya.

Tak heran, Celebes TV ikut bersaing dengan stasiun jaringan yang juga bersiaran di wilayah layanan Makassar dan sekitarnya karena kekuatan konten lokalnya.

Perebutan posisi rating saya anggap bukan lagi masalah bagi Celebes TV.

Namun, kedepan sejumlah tantangan di antaranya perkembangan sumber daya manusia, dan teknologi serta sistem siaran digital akan menjadi tantangan baru bagi televisi lokal khususnya Celebes TV.

Dari data kementerian tercatat saat ini setidaknya terdapat 1.168 stasiun TV di seluruh Indonesia.

Adanya fenomena konsentrasi kepemilikan media di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi televisi lokal menghadapi fenomena ini.

Sekaligus akan terjadi peralihan sistem penyiaran dari analog ke sistem penyiaran digital.

Hal tersebut tentunya akan menimbulkan dampak di berbagai bidang, terutama bagi keberlangsungan kehidupan televisi lokal.
Digitalisasi penyiaran merupakan tuntutan perkembangan teknologi yang menjadi keniscayaan untuk diterapkan.

Apalagi adopsi teknologi penyiaran digital bisa mengantarkan lebih banyak informasi kepada masyarakat, sehingga pemerintah meyakini digitalisasi penyiaran menjadi jalan singkat terwujudnya keberagaman kepemilikan yang menjadi syarat terciptanya demokritisasi informasi.

Pada 21 Juni 2019 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika menetapkan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2019 Tentang pelaksanaan penyiaran simulcast dalam rangka persiapan migrasi sistem penyiaran televisi analog ke sistem penyiaran televisi digital.
Ini menjadi pertanda penyiaran di Indonesia dalam waktu dekat akan migrasi ke digital.

Sebelumnya pemerintah melalui Menkominfo pernah menerbitkan peraturan menteri No. 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital.
Peraturan ini menargetkan bahwa pada tahun 2018, semua siaran televisi di Indonesia sudah menggunakan sistem digital dan perlahan bisa meninggalkan sistem yang analog.

Namun, berbagai polemik muncul mengenai peraturan televisi digital itu, banyak pihak yang tidak setuju dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika ini.

Hingga akhirnya Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan TV Digital.
Dalam menghadapi sistem digitalisasi televisi, Televisi lokal tentu memiliki keuntungan dan kerugian.

Keuntungan televisi lokal pada era digitalisasi televisi ini, apabila televisi lokal bisa melewati fase perubahan sistem analog ke sistem digital maka televisi lokal akan bisa memiliki hak yang sama dengan televisi lainnya untuk mengembangkan siarannya atau saluran tambahan.

Keberadaan televisi lokal akan bisa setara dengan televisi-televisi lainnya dalam mengembangkan materi konten siarannya.
Menerapkan sistem digitalisasi televisi tentu tidaklah mudah, banyak tahapan yang harus dilalui sebuah stasiun televisi untuk berpindah ke digital.

Tak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan sebuah stasiun televisi untuk mengubah sistem analognya ke sistem digital.

Dari mulai penyediaan perangkat yang baru di ruang siarnya, hingga peralatan broadcast lainnya.

Namun, apabila televisi lokal tidak bisa menghadirkan perangkat untuk digitalisasi televisi, dan masih menggunakan sistem analog, maka akan tertinggal dari televisi-televisi yang lain, baik itu dari sisi kualitas siaran, serta perolehan iklan.

Kecuali apabila nantinya pemerintah tidak akan secara total menghilangkan sistem analog, televisi lokal masih dapat ditayangkan ke khalayak.

Hal ini pada akhirnya akan dikembalikan lagi ke televisi lokal itu sendiri, apakah mampu melewati perubahan teknologi digital atau tidak.

Sementara itu, di era sekarang sebagian besar persebaran informasi berlangsung di dunia maya.

Sehingga industri pertelevisian menghadapi persaingan dengan media-media online yang relatif lebih mudah diakses.

Hal ini menuntut stasiun televisi untuk terus menghadirkan inovasi, baik dalam program tayangan maupun dalam media penyiaran.
Salah satunya dengan menyediakan akses untuk menonton siaran televisi secara online.

Celebes media group pun sudah berusaha mengimbangi fenomena informasi baru tersebut dengan meluncurkan aplikasi celebesmedia.id yang diharap mampu mengimbangi new media di Sulawesi Selatan.

Selamat ulang tahun Celebes TV yang ke-8.
Teruslah mengudara dan tetap menjadi televisi lokal yang terkini serta terus menjadi kebanggan masyarakat Sulawesi Selatan. (*)

Sehari-hari pemirsa kita disodori berita kekerasan melalui media massa atau menyaksikan sendiri, serasa hidup kita berada di putaran lingkaran kekerasan yang tak berujung. Banyak orang mungkin tidak lagi khawatir ataupun cemas jika mengetahui adanya kekerasan.

Mahasiswa tawuran, membakar, merusak! Dulu dikatakan penyimpangan, kini hal itu menjadi fenomena biasa.

Mengapa orang jadi mudah melakukan tindakan kekerasan dan anarkis? Mungkin pelakunya merasa itulah penyelesaiannya. Misalnya, mahasiswa di Kendari berpandangan karena membela PKL makanya harus bertarung dengan polisi. Polisi berpandangan karena menjaga keamanan dan aturan sehingga harus menyerang mahasiswa.

Namun yang lebih memprihatinkan kemudian adalah jika kita para non-pelaku menjadi kebal dengan peristiwa kekerasan? Dan menjawab ”lagi-lagi mereka”, ”biar saja yang penting kita aman, damai”.


Apakah ini tipologi masyarakat kontemporer yang beradab? Dulu,sosiologis abad 18 membuat prediksi masyarakat yang akan datang sebagai masyarakat positif atau masyarakat rasional.

Pada masyarakat demikian masalah diselesaikan dengan logika bukan dengan otot dan kekerasan. Ternyata prediksi akademis itu kurang tepat. Kini rasio atau logika ilmiah jalan, otot dan kekerasan juga jalan.

Bisa jadi, jika kita terus-menerus membiarkan peristiwa kekerasan yang hadir di depan kita tanpa rasa prihatin, ataupun konsen terhadapnya. Lama-lama kita menjadi permisif, atau membiarkan itu terjadi apa adanya. Dan karenanya kita juga sama sebagai pelaku.

Saya sebagai kontributor televisi boleh dikata hampir tiap minggu meliput kasus kekerasan, terkadang merasa berdosa karena berita saya dapat membodohi masyarakat, meniru para pelaku tindak kekerasan. Terlebih sejumlah wartawan bahkan saya seringkali terlibat untuk memprovokasi warga, pengunjuk rasa bahkan pelajar untuk melakukan tindakan kekerasa agar liputanku bisa ditayangkan.

Meski kami tahu itu hal yang meyimpang, kalau tidak demikian maka berita dari daerah hanya tertahan di meja korda, produser sama sekali tidak melir
ik berita kami. Mungkin para produser anggap peristiwa kekerasan itu menarik untuk diberitakan dan dapat mengangkat rating. " klo tidak ricuh, berita kita tidak dipakai. JAdi apa salahnya kalau kita ajari mereka untuk bertindak anarkis agar gambar mereka bisa ditayangkan" kata salah seorang temanku yang juga seorang kontributor teve swasta.

Namun, di sisi lain bagiku media saat ini telah membodohi masyarakat.Dewasa ini, media audio, visual, dan cetak, menyusupkan berbagai macam tindak kekerasan dalam sajian mereka. Dulu, masyarakat dapat menyaksikan kekerasan hanya jika mereka ada di sekitar lokasi kejadian. Namun saat ini, siapa pun dapat menyaksikan tindak kekerasan dalam tayangan televisi.

Sejumlah hipotesis telah diajukan sehubungan kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi pada perilaku manusia. Salah satunya, hipotesis katarsis, yang menyatakan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di televisi menyebabkan dorongan agresif melalui ekspresi perilaku bermusuhan yang dialami orang lain. Hipotesis rangsangan memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif. Termasuk kategori ini, hipotesis menirukan atau mencontoh, yang menyatakan orang mempelajari perilaku agesif dari televisi dan kemudian mereproduksi perilaku itu. Jika hipotesis kehilangan kendali diri benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan orang lain.

Hasrul

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget