KETAKUTAN terhadap kebebasan pers bukanlah omong kosong. Bahkan kebebasan pers kerap menjadi momok yang menakutkan. Menakutkan bagi pemegang kekuasaan. Mengapa? Karena lembaga pers juga dianggap memiliki sebuah “kekuasaan” tersendiri. Sehingga pekerja jurnalis dianggap dapat mengganggu dan membahayakan kekuasaan para penguasa.
Hal itu banyak pihak berupaya menguasai pers. Berbagai cara pun bisa ditempuh para penguasa. Misalnya memanggil pemimpin redaksi untuk 'mengendalikan' arah pemberitaan. Menelepon lembaga pers sambil meminta agar pemberitaan yang dianggap merugikan segera dicabut. Atau, mengancam lembaga pers dan wartawan secara fisik dan mental. Lebih parahnya lagi, adalah pembredelan kantor media massa. Gambaran kelam terhadap kebebasan pers itu sering menghantui para jurnalis di Tanah Air. Kebebasan pers merupakan perwujudan dari hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut, dan karena itu merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi modern yang sungguh beradab.
Pada dasarnya kebebasan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara demokratis.
Pertanyaan sekarang. Mengapa kebebasan pers masih sebatas angan-angan? Hal itu bisa terjadi karena penerapan hukum di negeri in masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Penerapan hukum yang tegas, tanpa pilih kasih,masih sebatas retorik belaka. Ini sangat berbahaya, karena negara bisa hancur karena lemahnya penegakan humum,apalagi kalau pers bisa dibungkam. Kondisi itulah yang terlihat dewasa ini.
Adalah fakta, meski berbagai kebebasan itu sudah diatur dalam perundang-undanga, namun gaungnya belum memasyarakat.Misalnya saja, Undang-undang Pers No.40.Tahun 1999 ternyata aparat penegak hukum masih banyak yang belum tahu.
Jangan tanya pada mereka pasal demi pasalnya. Mendengar sajapun mereka belum pernah. Sangat ironis! Bagi yang sudah tahu malah bersikap acuh, seakan undang-undang pers itu tidak valid. Kondisi itulah yang membuat mereka menolak menggunakan Undang-undang Pers dengan berbagai macam alasan.. Pers bahkan dituding sebagai pihak yang membuat undang-undanganya sendiri, membela korpsnya,sehingga kata mereka, sudah barang tentu undang-undang pers hanya menguntungkan komunitas pers bila terjadi delik pemberitaan.
Dengan realita dan pemahaman seperti itu wajar saja kalau berbagai kasus delik pers pada akhirnya diselesaikan menurut kehendak polisi, Jaksa, dan Hakim, yakni menggunakan KUH pidana, dan komunitas pers akhirnya satu persatu menjadi korban, masuk penjara, akibat pengebirian UU Pers oleh pihak luar.
Kondisi seperti itu sudah banyak terjadi, dan cukup menakutkan bag komunitas pers sekaligus mengancam kebebasan pers. Sangat ironis jika sebuah karya jurnalistik harus berakhir di terali besi.
Kebebasan pers bisa berjalan dengan baik jika semua pihak menyadari betapa mulia dan urgen fungsinya yang diemban para pekerja jurnalistik. Pers yang baik akan menerapkan manajemen profesional dalam menjalankan fungsinya dengan penuh tanggungjawab. Selalu kritis terhadap keadaan,selalu berpihak pada rakyat, terus meningkatkan kemampuannya dalam reporting.